Laman

Minggu, 11 September 2016

Prompt #124 - Bantut


Aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya. Sudah kuperintah ia berkali-kali untuk berhenti. Namun tetap saja ia menolak. Kepalanya tetap bodoh. Tangannya tetap jahil.

“Hentikan! Cukup! Pergilah!” rengekku sembari terisak.

Namun ia tak dengar. Atau tak mau dengar. Ia terus berusaha mengeringkan air mataku. Berlagak jadi pahlawan.

“Tak! Aku enggan berhenti membebaskanmu dari kepedihan ini. Aku takkan membiarkanmu tenggelam dalam air matamu sendiri. Diriku tak mungkin tega melihat perempuan yang kusayang bersedih hati.”

“Tapi ini tak ada gunanya.”

Ah, pening kepalaku. Aku benci lelaki. Lelaki itu bodoh. Tidak peka. Rasanya aku ingin jadi lesbian saja! Tapi aku tak bisa. Karena fitrahku menyukai lelaki. Takdirku mencintai dia. Tapi kenapa nasibku tak sebaik cintaku? Bedebah! Aku benci semuanya.

“Sebentar lagi. Air mata di matamu akan mengering. Dan selepas itu, kita bisa bersama-sama lagi, Kasih.”

“Tapi aku tak pernah berharap untuk dapat bersamamu terus. Lebih baik aku mati tenggelam dalam lautan air mataku sendiri, daripada aku harus hidup seatap dengan lelaki tolol sepertimu. Pergilah. Apa yang kaulakukan sungguh tiada guna.”

Masih tak menggubris, ia bertingkah seolah ia lebih tahu segalanya tentang aku, tentang diriku. Ia pikir diriku hanya sedang merajuk. Padahal tidak. Jika air di mataku sudah membanjir seperti ini, mana mungkin aku hanya sekadar merajuk? Sungguh, lelaki tak bisa membedakan mana banjir, dan mana gerimis.

“Tidak. Sabarlah, Sayang. Aku pasti akan segera menyudahi kesedihan ini.”

Kertas demi kertas ia robek, ia susun di kelopak mataku. Menyerap, mengalir dan saling tumpuk satu sama lain. Seperti limbah penyumbat sungai. Foto-foto pernikahan kami pun turut dibawanya. Menyerap, jadi biru semua. Tak tersisa lagi kenangan-kenangan manis. Yang ada hanya kertas-kertas lecak yang basah. Tak berarti.

“Sudahi kebodohanmu! Pulanglah ke rumah ibumu. Menyusulah lagi, sampai kau pintar!”

Habis kertas, habis foto-foto. Dikurasnya lemari kami. Tempatnya menyimpan surat-surat rumah dan akta lahir anak-anak kami. Digondolnya, lalu diceburkannya ke sungai air mataku. Basah. Hilang semuanya. Sia-sia.

Lenyaplah sudah harapanku, rumah impianku dan anak-anak manisku. Tak mau berhenti, ia beralih ke tempat lain. Didobraknya rekeningku, tabunganku untuk hari tua. Dikuras semuanya, dan dirapikan sedemikian rupa. Tepat di bawah mataku yang mulai menghitam. Hancur segala-gala. Tak tersisa harta yang ada.

Masih berusaha, diseretnya rak kerjanya. Surat lamaran, surat saham, tanda tangan kontrak, sertifikat tanah, semuanya dibuangnya ke sungai mataku. Biar menyumbat, katanya. Biar berhenti banjirnya. Biar selesai pedihnya. Padahal tidak. Padahal bukan. Makin jauh ia bertindak, malah makin bodohlah ia.

“Sebentar, Sayang. Aku akan menyeka air di matamu,” katanya lugu.









Prompt #124 Monday Flash Fiction yang ditulis dalam 400 kata. Hore!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar