Minggu, 13 Maret 2016

Prompt #106 - Kejadian



Tidak lagi. Tidak lagi bagiku untuk jadi buruan. Tak lagi jadi buronan. Sekarang semuanya sudah berubah. Orang-orang mencariku bukan untuk memenjarakanku lagi. Bukan pula untuk menjadikanku bahan penelitian atau senjata. Aku bebas kini. Aku yang berkuasa.


“Ya, dulu. Waktu masih di sekolah, saya membuat semuanya berantakkan. Guru saya panik. Saya dikejar-kejar polisi, bahkan tentara. Padahal saya tidak bermaksud menyakiti siapa pun.”

Wajahku ada di mana-mana. Dari koran hingga televisi semuanya membicarakanku, menyebut-nyebut namaku.

“Apakah Anda membenci mereka?”

“Oh, tentu tidak. Itu masa lalu. Justru sekarang saya senang orang-orang sudah tercerahkan.”

Selebriti kehilangan pamornya. Seniman tak lagi punya harga. Semua orang mengelu-elukan diriku kini. Tak ada yang menandingiku. Tak ada.

“Tuan Humbern Deghala, selain mengendalikan benda-benda tanpa menyentuhnya, mendatangkan hujan, menyembuhkan orang sakit parah, dan lain-lain, apakah benar Anda juga bisa membangkitkan orang mati?”

“Itu hanya sekali waktu saya di Berlin. Dan hingga sekarang saya tidak pernah mencobanya lagi. Ceritanya sangat panjang.”

“Adakah kemauan Anda untuk mencobanya lagi? Sungguh, jika memang ada mampu, Anda bisa menolong begitu banyak orang yang kehilangan. Anda bisa memperbaiki hidup seseorang, bukan? Dan tentu saja, Anda bisa memperbaiki dunia jika yang anda bangkitkan adalah orang-orang penting bagi sejarah dunia.”

Tentu saja. Memangnya untuk apa aku di sini? Aku hadir di sini, di dunia yang sudah semerawut ini jelas untuk memperbaikinya. Memangnya siapa lagi yang mampu kalau bukan aku? Di tengah kebodohan di dalam kepintaran mereka, manusia jelas membutuhkan seorang pemimpin, yang mampu mengisi kekosongan-kekosongan hati mereka yang dikarenakan otak mereka yang dipenuhi ilmu berceceran.

Tapi di mana Sang Pemimpin dambaan mereka itu? Tak satu pun muncul. Tak di bumi, tak juga di langit.

Manusia sendiri sudah banyak menjumpai pemimpin. Namun di antara mereka yang menerima, ada pula yang menolak. Ada yang percaya, ada yang tidak. Ada yang tutup telinga, padahal diam-diam matanya membaca. Sungguh lucu bukan spesies yang paling pintar di dunia ini? Ah, aku pun tak tahu apa aku termasuk dalam kaum mereka atau bukan. Namun yang jelas, aku punya sesuatu yang tak mereka punya. Sudah pasti derajatku satu tingkat lebih tinggi dari mereka.

Pria pembawa acara itu menyuruh dua orang pria dari belakang panggung membawakan sesuatu ke atas panggung. Sebuah peti mati. Juga dengan seorang pria berjanggut di dalamnya. Sudah mati. Kemudian lampu diredupkan. Penonton bergidik tegang. Semua kru harap-harap cemas.

Diriku disuruh maju mendekat. Dan tanpa perlu mengeluarkan jurus atau mantra atau surat apalagi ayat, si mati itu membuka matanya hanya dengan sekali sentuh dan kuucap; Bangkitlah!

Maka ia bangkit dan berdiri tegap. Kemudian menangis. Ia memelukku, mencium tangan dan kakiku, dan memanggilku dengan sebutan “Rabbi.” Sedang yang lainnya bertepuk tangan, bersiul dan bersorak-sorai. Si pembawa acara mengoceh tak keruan. Isi kepalaku juga tak keruan. Satu hal yang kusadari, siaran ini disiarkan ke seluruh dunia. Maka hal yang kuinginkan untuk terjadi, terjadilah!


***


“Kita harus melawannya!”

“Tetapi, bukankah yang bisa memusnahkannya hanya...”

“Al Masih. Aku tahu itu. Tapi akankah kita berdiam diri sementara dunia sedang kacau balau? Kita harus sadarkan umat manusia kalau dia  bukan pemimpin. Dia bukan nabi, bukan juga Tuhan.”









Untuk Prompt #106 – Titanium, Monday Flash Fiction. Ini bukan SARA, ya. Ini bukan khotbah. Terinspirasi dari kisah Dajjal; Anti-Kristus—yang katanya cuma dongeng.

1 komentar: